Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2014

Sepakbola Mengubah Wajah Kelam Papua

KEKERASAN politik yang berujung pelanggaran HAM hingga masalah ketimpangan ekonomi, menjadi isu yang kita ketahui tentang Papua. Sejak penyerahan kedaulatan dari Belanda ke Indonesia pada 1949, kemudian sejak Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 yang menghasilkan 1.024 perwakilan warga Papua memilih bergabung dengan Indonesia hingga saat ini 14 tahun reformasi, kedua bahasan itu membuat kelam nama Papua. Kisah-kisah penembakkan misterius di Papua di alam reformasi saat ini, sering juga kita dengar. Setidaknya, kisah-kisah dari ribuan kilometer dari tempat saya tinggal ini, sedikit menteror pikiran kita tentang sebegitu tidak kondusifnya tanah Papua. Tahun 2011, saya sempat menengok warga Bandung yang tewas tertembak di Papua saat melakukan pekerjaanya. 

Biarkan Petani Hidup Berdampingan Dengan Robocop

TAHUN lalu saya pernah ditugaskan di Subang oleh kantor. Cukup lama, 11 bulan. Subang ini dikenal daerah dengan sentra pertanian yang sangat baik, seperti halnya Indramayu dan karawang. Apalagi, areal pertanian di Subang didukung irigasi teknis. Belum lagi, hadirnya Saluran Tarum Timur yang pembuatannya integral dengan Bendungan Jatiluhur. (Tulisan mengenai Pertanian dan Tarum Timur pernah saya tulis. Jejak Nasionalisme Di Pantura .) Hanya saja, pertama kali datang ke Subang, banyak cerita miring tentang hilangnya areal persawahan di Subang dan berganti menjadi beton-beton pabrik. Industrialisasi memang keniscayaan. Termasuk manakala banyak sawah yang berubah fungsi. Namun, di tengah keniscayaan itu lah hukum hadir. Adalah tentang bagaimana industri bisa berkelindan dengan usaha pertanian, adalah tentang dimana pabrik bisa berdiri dan adalah tentang dimana sawah bisa tetap ada dan jika beralih fungsi, ancaman hukuman bagi mereka yang mengalih fungsikan.