MINGGU
18 Oktober, pagi-pagi sekali saya bangun di rumah reyot saya di Antapani. Saya
harus kembali ke Purwakarta karena pekerjaan menuntut saya harus ada di kota
berpenduduk 960 ribu jiwa saat itu; Final Piala Presiden antara Persib Bandung
melawan Sriwijaya FC, digelar di Stadion Gelora Bung Karno (SUGBK) Jakarta.
Itu
artinya, puluhan ribu bobotoh datang ke Jakarta via Tol Cipularang dan
melintasi kawasan Purwakarta, Karawang, Bekasi dan Depok yang memiliki
kantung-kantung suporter Persija Jakarta, the jak mania. As we know, hubungan
the jak mania dan bobotoh, suporter Persib enggak akur.
Karenanya,
potensi konflik di daerah itu diprediksi rawan dan ternyata memang terbukti.
Bus bobotoh ditimpuki orang tak dikenal (bertendensi supporter lain) di KM 59
(Karawang) pada Minggu siang. Kemudian, pembacokkan dua orang di Purwakarta
oleh massa berkonvoy kendaraan roda dua usai nonton bareng (nobar) final di
sejumlah titik di Purwakarta pada Minggu tengah malamnya.
Lalu
apa hubungannya saya dengan semua konflik itu? Ya berhubung saya seorang
reporter media yang tergabung dalam Kelompok Kompas Gramedia yang tahun ini
kebagian job desk di Purwakarta, otomatis hari Minggu itu saya harus tetap ada
di Purwakarta.
Melihat
puluhan ribu bobotoh berbondong-bondong ke SUGBK, jelas saya cemburu. dan dalam
hati menggerutu. Apalagi, pacar saya datang ke SUGBK. Satu tiket sebenarnya
sudah saya miliki pemberian salah seorang bek Persib yang menawari saya tiket
pada hari sebelum Minggu. Tapi sudahlah, lupakan soal kesialan saya yang harus
melewatkan Final Piala Presiden.
Merinding
bulu kuduk saya saat melihat puluhan ribu bobotoh memadati SUGBK. Apalagi,
perasaan sirik begitu menggelora saat teman-teman reporter lain ketika saya
masih megang job desk bola pada 2014, memposting banyak banget foto dan video
situasi SUGBK, tempat angker bagi bobotoh. Kita masih ingat, Rangga Cipta
Nugraha, bobotoh asal Cimenyan Kota Bandung itu tewas mengenaskan karena
dianiaya massa suporter saat pertandingan Persija Jakarta melawan Persib.
Sehingga, jauh sebelum 18 Oktober, keinginan bobotoh yang ingin menyaksikan
Persib tampil di GBK adalah hal yang mustahil, tentu saja mengingat perseteruan
kedua suporter ini.
Saya
pernah menyaksikan laga Persib dan Pelita Bandung Raya (PBR) melawan Persija di
SUGBK saat masih dipercaya memegang job desk bola. Saat itu, saya dan
sejumlah reporter lain datang ke SUGBK, duduk di tribun media di tengah-tengah
puluhan ribu the jak mania. Meski posisi kami saat itu sebagai reporter, tetap
saja kami merasa was-was.
Setahu
saya dan sudah saya pastikan dalam mesin pencarian google, terakhir kali mereka datang ke SUGBK itu saat final Liga Indonesia antara Persib melawam Petrokimia Putera. Persib keluar sebagai juara saat itu. Setelah momen bersejarah 1995, bobotoh sudah
tidak lagi pernah menginjakkan kaki di SUGBK di partai final. Singkat kata,
bobotoh sudah 20 tahun tak lagi menginjakkan kakinya di SUGBK.
Nah,
setelah 20 tahun bobotoh tidak menginjakkan kakinya di SUGBK, Minggu 18 Oktober
2015 jadi hari yang paling bersejarah. Di samping karena memang sudah lama
sekali, 20 tahun, juga soal hubungan yang tidak harmonis antara bobotoh dengan
the jak mania. Dan
Final Piala Presiden yang berhasil dimenangkan Persib dengan skor 2-0 atas
lawannya Sriwijaya FC, adalah terulangnya momen 20 tahun lalu.
Momen
18 Oktober di SUGBK juga punya makna lain. Apa itu, peringatan satu tahun
pemerintahan Joko Widodo alias Jokowi dan Jusuf Kalla sebagai Presiden
Indonesia. Sehingga, momen bersejarah Persib di SUGBK 18 Oktober dan satu tahun
pemerintahan Jokowi itu jadi hal yang menarik dan ramai diperbincangkan banyak
orang.
Sehingga,
katakanlah saya berhipotesa. Satu tahun pemerintahan Jokowi-JK itu saat Persib
juara Piala Presiden di SUGBK dengan disaksikan puluhan ribu bobotoh, setelah
terakhir kali mereka ke SUGBK pada 1995.
Apa
itu prestasi, kebanggaan? Bisa jadi iya, setidaknya menurut saya. Karena jika
Final Piala Presiden tidak digelar di SUGBK, sederhana saja, bobotoh entah
kapan lagi meliihat Persib bertarung di final dengan venue di SUGBK, bukan?
Saya
tidak berniat menyanjung Jokowi ditengah kritik yang dilontarkan padanya atas
kinerja memerintah selama satu tahun ke belakang. Namun, seperti kita ketahui,
dipilihnya SUGBK sebagai Final Piala Presiden pun sempat menuai penolakkan dari
The Jak Mania, toh? Namun, Jokowi melalui Kapolri Jenderal Badrodin Haiti tak
bergeming dan tetap memutuskan SUGBK sebagai tempat final.
Di
luar hal itu, langkah nekat mengizinkan final digelar di SUGBK pun jadi
perhatian Kapolri yang mengatakan bahwa Final Piala Presiden digelar di SUGBK harus dijadikan momentum perdamaian the jak
dan bobotoh.
"Tak mungkin
persoalan antara mereka dibiarkan dan dipelihara. Momentum ini harus
dimanfaatkan untuk mendamaikan. Ini yang akan kami manfaatkan ke depan,"
ujar Badrodin seperti dilansir di Kompas.com
Saya
sepakat, bobotoh dan the jak harus berdamai ; damai untuk tidak lagi saling
serang secara fisik, tidak saling meneror, mengancam, melukai, menyerang,
membunuh dan saling berbuat anarkis dan melakukan kekerasan antar sesama
suporter. Biarkan perseteruan mereka tetap ada dalam mendukung masing-masing
timnya. Sportifitas dalam sepakbola itu tidak hanya di lapangan antar pemain di
dua kesebelasan, tapi juga harus ada dan dipahami oleh setiap suporter berbeda
tim yang memadati setiap tribun dalam stadion.
Saya
membayangkan kelak Persib akan bertemu Persija dengan disaksikan massa the jak
dan bobotoh dalam satu stadion, entah itu di SUGBK atau di Gelora Bandung
Lautan Api (SUGBK). Bagi saya, itu keren!
Komentar
Posting Komentar