Purwakarta, 23 Oktober 2015
Suatu hari sebelum 30 Desember 2009, kami menjenguk Gus Dur di kediamannya di Ciganjur. Saya berangkat dari Kukusan, Depok saat itu. Setiba di kediamannya, stafnya mempersilahkan kami masuk. Saat membuka pintu rumahnya, kami semua kaget.
Di ruang tamu kira2 berukuran 8x5 meter, Gus Dur terlentang di atas kasur dengan celana pendek dan kaus putih tipis beladus, sendirian. Wajahnya bengkak hingga menutup matanya tapi kami yakin dia tidak tidur dan kami tahu ia menahan sakit. Tapi dia menyadari kehadiran kami.
Beberapa diantara kami meneteskan air mata seraya mengajaknya bicara meski dibalas dengan isyarat gerak tubuhnya yang ringkih. Entalah saya lupa apa yang mereka sampaikan pada mantan presiden yang mencabut Inpres 14 Tahun 1967, sebuah Inpres yang mendiskriminasi satu entitas etnis itu serta presiden yang mengeluarkan Keppres No 19/2001 yang menjadikan Imlek jadi hari libur bagi pemeluknya.
Sebagai mantan presiden yang menciptakan dasar peradaban baru bagi republik ini, saya sempat tertegun. Ingatan saya memutar rekaman visual saat ia di impeach oleh parlemen, hingga saat ia menengadahkan tangannya dengan celana pendek, serta ide-ide besarnya tentang bagaimana harusnya manusia di republik ini diperlakukan.
Kemudian, di ruang tengah itu, pada satu kesempatan, saya melihatnya terbaring tak berdaya di ruang tamu besar, sendirian dengan kondisi yang, ah sudahlah...
Saat itu, saya duduk tepat di sebelah kanannya yang hanya berjarak tidak lebih dari 100 centimeter. Kamera SLR 1000D sudah di tangan. Saya mundur, duduk menjauh untuk mengambil gambarnya. Singkat cerita, kami pulang. Di dalam mobil, tidak banyak yang kami bicarakan. 30 Desember 2009, Gusdur wafat. Foto kondisi Gus Dur saat saya menjenguk di kediamannya hilang bersama rusaknya hard disk komputer saya.
"Ya salam, selamat jalan, cinta ini menemani," begitu kata Kang Mukti, menyanyikan lagu Gus Dur saat wafat.
Suatu hari sebelum 30 Desember 2009, kami menjenguk Gus Dur di kediamannya di Ciganjur. Saya berangkat dari Kukusan, Depok saat itu. Setiba di kediamannya, stafnya mempersilahkan kami masuk. Saat membuka pintu rumahnya, kami semua kaget.
Di ruang tamu kira2 berukuran 8x5 meter, Gus Dur terlentang di atas kasur dengan celana pendek dan kaus putih tipis beladus, sendirian. Wajahnya bengkak hingga menutup matanya tapi kami yakin dia tidak tidur dan kami tahu ia menahan sakit. Tapi dia menyadari kehadiran kami.
Beberapa diantara kami meneteskan air mata seraya mengajaknya bicara meski dibalas dengan isyarat gerak tubuhnya yang ringkih. Entalah saya lupa apa yang mereka sampaikan pada mantan presiden yang mencabut Inpres 14 Tahun 1967, sebuah Inpres yang mendiskriminasi satu entitas etnis itu serta presiden yang mengeluarkan Keppres No 19/2001 yang menjadikan Imlek jadi hari libur bagi pemeluknya.
Sebagai mantan presiden yang menciptakan dasar peradaban baru bagi republik ini, saya sempat tertegun. Ingatan saya memutar rekaman visual saat ia di impeach oleh parlemen, hingga saat ia menengadahkan tangannya dengan celana pendek, serta ide-ide besarnya tentang bagaimana harusnya manusia di republik ini diperlakukan.
Kemudian, di ruang tengah itu, pada satu kesempatan, saya melihatnya terbaring tak berdaya di ruang tamu besar, sendirian dengan kondisi yang, ah sudahlah...
Saat itu, saya duduk tepat di sebelah kanannya yang hanya berjarak tidak lebih dari 100 centimeter. Kamera SLR 1000D sudah di tangan. Saya mundur, duduk menjauh untuk mengambil gambarnya. Singkat cerita, kami pulang. Di dalam mobil, tidak banyak yang kami bicarakan. 30 Desember 2009, Gusdur wafat. Foto kondisi Gus Dur saat saya menjenguk di kediamannya hilang bersama rusaknya hard disk komputer saya.
"Ya salam, selamat jalan, cinta ini menemani," begitu kata Kang Mukti, menyanyikan lagu Gus Dur saat wafat.
Luar Biasa Ya Pak Gusdur itu... Semoga Beliau Diterima Iman dan Islamnya oleh Yang Maha Esa..
BalasHapusKunjungan http://desaparakansalam.blogspot.co.id/