Langsung ke konten utama

Dedi Mulyadi-Djadjang Nurdjaman, Dua Pria Yang Tergantikan

TIBA-tiba saja Partai Golkar, partai bentukan rezim orde baru mengumumkan nama yang akan diusung di Pilgub Jabar adalah Ridwan Kamil. Nama yang melejit dan dikenal banyak orang karena aktifitasnya di media sosial kemudian dianggap menarik generasi saat ini yang tidak bisa lepas dari media sosial. Begitu juga dengan sepak terjangnya selama memimpin Kota Bandung.




Foto : Agung
Sedangkan kadernya, Dedi Mulyadi Ketua DPD Golkar Jabar terganti dari partainya sendiri untuk ajang politik lima tahunan itu. Pelatih Persib Bandung Djadjang Nurdjaman pernah mengalami hal serupa.  Dedi dan Djanur, kedua pria ini sama-sama pernah diganti dan terganti oleh rivalnya.

Partai yang ketuanya sedang bermasalah dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu menyodorkan nama Ridwan Kamil dan Daniel Muttaqien sebagai pasangan calon gubernur dan wakil di Pilkada Jabar 2018. 

Daniel adalah kader Golkar asal Indramayu. Namanya mendadak muncul tidak lebih dari tiga bulan terakhir sebagai kontestan Pilkada Jabar setelah namanya disebut Ridwan Kamil sebagai pasangan yang pas karena mampu mendulang suara di pantai utara Jabar.  Daniel adalah anak Irianto MS Syafiudin alias Yance, mantan Ketua DPD Golkar Jabar sebelum Dedi Mulyadi. Dalam pemilihan Ketua DPD Golkar Jabar 2017, Dedi berhasil melunakan Yance dari yang semula berambisi maju dan akhirnya mundur.

Pengumuman pengusungan Ridwan Kamil akhir Oktober jadi gaduh karena rivalnya menuju pencalonan Pilgub Jabar, kader yang sudah 25 tahun berkarir di partai berwarna kuning bernama Dedi Mulyadi justru tidak diusung.

Dedi dan Ridwan Kamil kerap terlibat perang urat saraf, terutama saat berlomba menonjolkan prestasi membangun daerahnya, Kota Bandung dan Purwakarta. Sebenarnya status Kota Bandung dan Kabupaten Purwakarta tidak tepat disaingkan karena secara sifat dan tugasnya yang diatur undang-undang hingga dalam porsi anggaran jauh berbeda. 

Kabar Golkar mengusung Ridwan Kamil secara tidak langsung mendegradasi Dedi sang Bupati Purwakarta itu. Karir politiknya di Golkar selama 25 tahun terancam berakhir jelang Pilgub Jabar. PDI Perjuangan lantas menangkap kualitas dan kapabiltas Dedi hingga akhirnya, wacana PDI Perjuangan mengusung Dedi semakin menguat. 

Kondisi itu ditanggapi pengamat dengan sejumlah alasan. Diantaranya,  Dedi meski kader Golkar tapi visinya begitu dekat dengan PDIP. Partai berlambang banteng itu belum punya kader potensial dan menjanjikan sekaliber Rieke Diah Pitaloka untuk ajang politik tahun depan. Lalu penetrasi politik Golkar Jabar pada PDIP begitu masif saat membahas rencana koalisi di pilkada serentak tahun depan untuk level kota dan kabupaten. 

DPP Golkar memiliki alasan rasional untuk mengusung Ridwan Kamil. Toh, survey elektabilitas dan popularitsnya menjanjikan. Golkar mewujud jadi partai "yang penting potensi menang tinggi, dibanding potensi menang rendah,". Hal itu beralasan manakala dibandingkan pada Pilgub Jabar 2013, Golkar justru menurunkan Yance yang tidak potensial menang. Hasil akhirnya Yance gagal di Pilgub Jabar 2013.

Sedangkan Dedi, dengan survey elektabilitas dan popularitsnya di bawah  Ridwan Kamil dan Deddy Mizwar dianggap petinggi Golkar tidak berpotensi menang. Padahal, selama Dedi mimpin Golkar Jabar dianggap banyak pihak dan kader akar rumput semakin solid dibanding kepengurusan sebelum Dedi memimpin Golkar Jabar. 

Belum lagi, gerilya politik Dedi turut jadi alasan kuat kenapa kader akar rumput mendukungnya. Hal itu terlihat saat semua pengurus DPD Golkar Kota dan kabupaten merekomendasikan agar DPP Golkar mengusung Dedi pada Rapimda Golkar 2016 di Karawang.

Pesan suara whats app terdengar nyaring di meja di depan saya. Dalam display pesan itu, tertulis nama teman saya di Jakarta. 

"Megawati sudah merestui Demul, diproyeksikan dengan Netty Heryawan,". Kalimat pesan whats app itu semakin menguatkan wacana kepindahan Dedi. Kelak, dia akan dipanggil ; Bung Dedi!

Tapi tetap saja, langkah Dedi menuju Jabar satu dari PDI Perjuangan perlu secarik kertas dari sang ibunda partai, Megawati Soekarnoputri. Dan proses menunggunya bisa jadi panjang.

Jika saja Dedi diusung dibuang Golkar dan diusung PDI Perjuangan, dalam perspektif luas, dia bernasib mirip dengan Pelatih Persib Djadjang Nurdjaman.

Djanur sapaan akrab Djadjang Nurdjaman pernah mengalami hal serupa. Di tahun Persib juara, 2014, pertengahan musim Indonesia Super League (ISL) kabar tak sedap muncul. Posisi Djanur sebagai pelatih kepala terancam karena manajemen dikabarkan hendak merekrut Dejan Antonic yang pada momen sama tengah mengarsiteki Pelita Bandung Raya (PBR). Padahal, saat itu Persib dan PBR tengah terlibat drama lapangan hijau yang menarik. 

Coba anda buka statistik pertemuan kedua tim di ISL 2014. Selalu ada drama dalam pertemuan kedua tim. Bahkan, PBR lolos semifinal ISL pun setelah menjungkalkan Persib dengan skor 2-1. 

Sepak terjangnya melatih PBR tidak lepas dari cara dia memoles pemain muda. Selain itu, sebagai pendatang baru di ISL saat itu, PBR melangkah jauh hingga semifinal ISL. 

Track record pertandingan Persib tidak terlalu buruk saat wacana itu menguat. Toh buktinya, tahun itu Persib juara setelah menaklukan Persipura Jayapura lewat drama adu penalti. Perang urat saraf antara Persib dan PBR muncul ke permukaan sebagai rival satu kota selama gelaran ISL 2014. Kondisi memanas setelah kabar tersebut mengemuka di kalangan internal saja. Bisa jadi, bobotoh dan manajemen masih menyisakan kepercayaan pada Djanur. 

Kabar manajemen hendak mengganti Djanur hilang setelah hingar bingar perayaan Persib juara menghebohkan seantero republik ini. Hingar bingarnya berlanjut setelah membawa Piala Walikota Padang dan menjuarai Piala Presiden 2015 di Gelora Bung Karno (GBK).  Momen juara di GBK sangat bersejarah karena Maung Bandung kembali meraih gelar juara di GBK sejak terakhir kali pada 1995.

Kompetisi mulai bergulir sejak vakum karena konflik. Wacana mendepak / mengistirahatkan / menyingkirkan/ mengganti Djanur kembali mencuat. Kompetisi dimulai,  manajemen menarik Dejan Antonic ke skuat Pangeran Biru. Wacana itu menjadi kenyataan. 

Djanur akhirnya hengkang dari Persib setelah membawa tropi Celebes Cup, juara ISL, Piala Walikota Padang hingga Piala Presiden. Modal itu dirasa tidak cukup untuk mempertahankan Djanur di Persib. Manajemen lantas mengirimnya ke Milan, Italia untuk berguru bersama Inter Milan yang saat itu di presideni Erick Thohir yang juga punya keterkaitan dengan Persib secara korporasi. 

Djanur dikirim ke Italia bisa jadi tidak lebih dari upaya memberi jalan agar Dejan Antonic masuk entah dengan pertimbangan apa. Toh, racikan Djanur selama memimpin sejak 2013 tidak buruk-buruk amat. Bisa juga sebagai penghargaan atas prestasi Djanur. Namun, hal menarik dari peristiwa itu adalah Dejan pelatih PBR sang pesaing dengan gengsi tinggi justru direkrut oleh Persib. Sekilas, kondisi itu sedikit banyak mirip dengan drama Dedi -  Ridwan Kamil dan Golkar, bukan? 

Selama di Italia Djanur hanya mengikuti sesi latihan klub Serie A itu.   Secara kepelatihan, Djanur tidak mendapat sertifikat lisensi kepelatihan apapun, kecuali pengalaman berharga menimba ilmu sepakbola Eropa. 

Dejan akhirnya menukangi Persib. Di awal laga, racikan pelatih lokal dan pelatih berlisensi Uefa itu sangat kentara dalam permainan tim Maung Bandung. Hanya saja, selama jalannya kompetisi, Dejan tidak membawa hasil positif bagi Persib. Alhasil, protes bobotoh, pendukung Persib membuat Dejan hengkang. Manajemen lantas kembali memanggil Djanur untuk kembali melatih dengan komposisi yang jauh berbeda dibanding saat komposisi juara.

Tidak terlalu sulit menyamakan kasus Dedi - Ridwan Kamil dengan Djanur - Dejan Antonic. Toh, keduanya diganti-terganti oleh apa yang mereka besarkan. Penggantinya tidak lain adalah pesaingnya sendiri. Dedi selama 25 tahun turut membesarkan Golkar, begitu juga dengan Djanur, memberikan gelar juara yang ditunggu-tunggu selama 20 tahun. 

Dalam gelaran wayang golek Astrajinga Gugat di Kantor DPD Golkar Jabar kemarin Jumat 27/10/2017, Dedi menyindir partainya sendiri.

"Nanaon ge kudu dinilai secara adil. Jelema nu gawe nu kudu diapresiasi, lain jelema teu gawe nu diapresiasi. (Orang yang bekerja yang perlu diapresiasi, bukan orang yang tidak bekerja)," ujar Dedi dengan menirukan suara Cepot,  tokoh pewayangan. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nantikanlah Aku Di Teluk Bayur

MENGAWALI 2015, Januari, saya berkesempatan mengunjungi Kota Padang. Bukan untuk berwisata melainkan menjalankan tugas peliputan Piala Walikota Padang karena tim dari kota tempat saya tinggal, Persib Bandung berlaga di turnamen itu.  Laut yang tentang dan bentangan langit biru di Teluk Bayur Awal Januari

Jangan Takut Ke Bromo! #2 - Jalan Kaki Dari Cemoro Lawang

SETELAH turun dari kendaraan "byson" di Cemoro Lawang, udara segar sore hari langsung terasa bersama hembusan angin. Bentangan langit menampakkan biru yang sempurna. Pemilik warung tepat di dekat elf berhenti, langsung menawarkan penginapan. "Penginapan air panas Rp 150 ribu mas," kata seorang pria yang belakangan diketahui namanya pak Santoso. Saya pun mencoba menawarnya setengah mati. Namun, tetap saja dia tidak bergeming dengan harga yang ia tawarkan. Informasi yang saya dapatkan, harga penginapan kelas home star di Cemoro lawang ini sekitar Rp 100 ribu sampai Rp 150 ribu. Mungkin karena saat berkunjung kesana masih dalam suasana libur lebaran, harga penginapan jadi dipatok hingga Rp 150 ribu. Dengan pertimbangan harga yang ditawarkan masih belum menguras isi dompet, akhirnya saya menerima tawaran satu kamar. Tepat di depan Cemara Indah. Di penginapan pak Santoso ini, ia juga memiliki warung makanan yang dikelola oleh anaknya. Gunung Bromo dan Gunung B

Menyusuri Gua Sinjang Lawang di Pangandaran

TIDAK banyak yang tahu goa Sinjang Lawang di Dusun Parinengan Desa Jadimulya Kecamatan Langkap Lancar Kabupaten Pangandaran. Goa ini memiliki panjang 500 meter dengan dilewati oleh aliran Sungai Cijulang. Goa ini memiliki lebar  65 meter dengan tinggi goa mencapai 60 meter. Mulut Goa