Langsung ke konten utama

Biarkan Petani Hidup Berdampingan Dengan Robocop

TAHUN lalu saya pernah ditugaskan di Subang oleh kantor. Cukup lama, 11 bulan. Subang ini dikenal daerah dengan sentra pertanian yang sangat baik, seperti halnya Indramayu dan karawang. Apalagi, areal pertanian di Subang didukung irigasi teknis. Belum lagi, hadirnya Saluran Tarum Timur yang pembuatannya integral dengan Bendungan Jatiluhur. (Tulisan mengenai Pertanian dan Tarum Timur pernah saya tulis. Jejak Nasionalisme Di Pantura.)

Hanya saja, pertama kali datang ke Subang, banyak cerita miring tentang hilangnya areal persawahan di Subang dan berganti menjadi beton-beton pabrik. Industrialisasi memang keniscayaan. Termasuk manakala banyak sawah yang berubah fungsi. Namun, di tengah keniscayaan itu lah hukum hadir.

Adalah tentang bagaimana industri bisa berkelindan dengan usaha pertanian, adalah tentang dimana pabrik bisa berdiri dan adalah tentang dimana sawah bisa tetap ada dan jika beralih fungsi, ancaman hukuman bagi mereka yang mengalih fungsikan.
Di tengah hingar bingar Subang sentra pertanian yang terancam industrialisasi, saya sempat melakukan riset kecil-kecilan dengan menemui para calo mafia alih fungsi lahan di Subang. Di salah satu desa di Subang, santer menjadi perbincangan orang-orang di desa tersebut. Areal sawah di desa itu , seluas 20 hektare yang didukung dengan irigasi permanen, akan dibangun pabrik pembuatan sepatu.

Saat itu, dari 20 hektare sawah, 14 hektare diantaranya sudah dibebaskan. Siapa yang bergerilya membebaskan lahan tersebut. Padahal, banyak orang di desa tersebut bekerja di ladang. Ialah pak Sudinta. Dia seorang pengatur aliran air dari irigasi untuk dialirkan ke sawah-sawah di desa tersebut. Biasanya, Sudinta disebut Mantri Cai.

Sudinta ini saya kategorikan sebagai warga miskin di desa tersebut. Meski rumahnya berada di areal pertanian, namun ia sama sekali tidak memiliki lahan sawah dan tidak punya pekerjaan tetap. Lantas, darimana ia mendapat uang untuk kebutuhan sehari-hari, tidak lain dari para pemilik sawah itu.

"Aturannya setiap panen dari setiap 100 bata, saya dikasih 10 kg gabah sama petani pemilik lahan sawah. Tapi kenyataannya, selama bertahun-tahun, tidak semua petani di lahan puluhan hektare ini yang membagi keuntungannya dengan saya," kata Sudinta.

Sosialisme di Indonesia ataupun di dunia adalah keharusan kata Nurcholis Majid. Karena, semua kekayaan yang ada di bumi, dikuasai oleh Tuhan. Dan manusia sebagai penduduk bumi, harus bisa memanfaatkannya untuk kesejahteraan bersama.

Rupanya kerjasama antara Sudinta dengan para pemilik sawah ini, tidak banyak menguntungkan Sudinta. Hingga pada satu waktu,
ia diajak rekannya untuk membantu pembebasan lahan sawah di desa itu untuk dijadikan pabrik sepatu. Tugasnya, membujuk semua pemilik lahan sawah untuk menjualnya, dengan cara apapun.

Sudinta adalah orang yang tepat. Ia tahu betul siapa saja pemilik lahan 20 hektare sawah itu.  Kenapa, karena Sudinta lah yang mengatur pembagian air ke sawah-sawah mereka.

"Sebagai uang jalan dan uang lelah, saya sudah dikasih Rp 10 juta untuk operasional pembebasan lahan, termasuk menemui para pemilik sawah dan membujuknya untuk menjual lahan mereka. Kalau pabrik sudah berdiri,  anak saya dan mungkin saya, bisa dipekerjakan di pabrik itu," ujarnya.

Layaknya seorang gerilyawan, Sudinta bergerilya membujuk para pemilik lahan sawah. Usahanya itu berjalan lancar.
"Kami semua bekerja berlima. Tugasnya semua sama, membujuk warga agar menjual lahan sawahnya. Pada prinsipnya, saya tidak memaksa. Kalau tidak jual ya tidak masalah. Tapi, targetnya, lahan sawah teknisnya bisa terbebas agar proses pendirian pabriknya bisa cepat selesai," kata dia.

Haji Tholib adalah satu diantara sekian pemilik sawah di desa itu yang rencananya akan didirikan sebuah pabrik. Ia pula yang telah menjual tanahnya karena dirayu mati-matian oleh pak Sudinta. Sampai saat ini, ia menyesal telah menjual lahan sawah teknisnya seluas 400 bata seharga Rp 320 juta. Uang hasil penjualannya, kini tidak cukup untuk membeli lahan sawah teknis sejenis.

"Sawah punya saya dijual Rp 320 juta. Tadinya mau dibelikan lagi sawah dengan luas yang sama. Tapi setelah cari-cari, ternyata tidak ada. Kalaupun ada, lahan sawahnya bukan sawah teknis dan lokasinya pun berada di daerah-daerah dekat hutan," kata Tholib.

Karena tidak ada lahan sawah ideal seharga Rp 320 juta, kini, uang hasil penjualannya pun ludes tidak bersisa. "Uangnya sekarang ya habis. Itu saya gunakan untuk menerima gadaian sawah, rumah dan lainnya dari tetangga atau saudara. Saya dibujuk sama Sudinta untuk menjual lahan sawah. Dia datang ke tempat saya tiap hari hingga akhirnya saya tergoda dan akhirnya menjual sawah saya," katanya.

"Di kampung ini kan ada saluran irigasi untuk mengairi sawah, nah, dengan dibangunnya saluran irigasi ini kan mungkin dari pemerintah sudah dipatenkan bahwa sawah ini tidak bisa diganggu gugat, tapi kenapa jadi bisa begini," ujarnya.

Kisah pertanian di Subang itu mengingatkan saya pada adegan di film Robocop yang saat ini sedang tayang di bioskop di Bandung. Sedari awal saya memang tidak tertarik untuk menonton film tersebut. Meskipun, menganalisa film itu dengan Jean Baudrliard, sepertinya menarik. Tapi di luar alasan itu, toh akhirnya saya tetap menonton film itu di Festval Citilink minggu lalu.

Dikisahkan Alex Murphy kritis karena ledakan bom yang dipasang di kendaraan di halaman rumahnya. Nyawa Alex Muprhy, sang detektif di Kota Detroit Amerika Serikat, nyaris tak tertolong. Hingga pada akhirnya, ide gila itu muncul dari Omnicorp. Menyelamatkan sang detektif dengan cara mengganti organ tubuh selain jantung dan kepala, dengan mesin. Singkat cerita, merubah Murphy menjadi setengah manusia setengah robot.

Akhirnya dimulailah menyusun ide gila tersebut. Setting film dikisahkan pembuatan robot dilakukan di China. Singkat cerita, Murphy siuman dari koma. Ia belum sadar bahwa semua organ tubuhnya kecuali jantung, hati dan kepala, digantikan dengan mesin. Ia bercermin. Ia tidak bisa menerima kenyataan dengan bentuk tubuhnya yang baru. Sang dokter di Omnicorp menjelaskan semua apa yang dialaminya. Murphy tetap tak terima.

Lantas ia lari dari ruangan itu. Berlari meninggalkan ruangan demi ruangan. Hingga akhirnya, ia keluar dari pabrik itu. Bingung mau lari kemana, ia melihat tembok tinggi dan akhirnya meloncat dan tibalah ia di areal sawah.

Angle kamera sangat cerdas di adegan tersebut. Saat sang Robocop telah meloncat dan tiba di areal sawah, kamera langsung mengambil angle wide, mempertontonkan sang robocop berada di sawah, di depan para petani di China yang sedang mencangkul dan tembok-tembok besar pabrik Omnicorp.

Pertama kamera mengambil angle sang robocop menatap para petani yang sedang mencangkul. Kedua, kamera mengambil angle sang robocop, sawah, petani dan tembok pabrik Omnicorp.Dan ketiga, sang robocop berlari di sawah yang penuh lumpur, berlari sejauh mungkin dari pabrik Omnicorp, melewati petani dan akhirnya, robocop tumbang karena kontrolnya di shutdown dari dalam pabrik.

Dan ke empat, angle kamera diarahkan pada respon para petani yang tak merasa kaget dan hanya melongo melihat sosok robot di tengah sawah. Cerdas dan saya pikir itu adegan paling keren di film robocop.

Adegan itu sarat makna. Sebagaimana kita ketahui, pertumbuhan ekonomi China tengah pesat. Amerika Serikat, bahkan ketar-ketir mengejar ketertingalannya dari China. Sepanjang tahun lalu, China dan India disebut-sebut mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat. Tercatat, pertumbuhan ekonomi China tahun lalu mencapai angka 7.7 persen.

Adegan di film itu setidaknya hendak menyampaikan pesan bahwa China, yang sedang berjibaku meningkatkan kemajuan ekonomi, tidak mengenyampingkan sektor pertanian. Meskipun industri berkembang pesat disana, film itu menyampaikan pesan bahwa pertanian bisa berdampingan dengan industri di China.

Dan satu hal yang pasti, kemajuan dunia dengan mengedepankan pengambangan industri di dunia, hendaknya tidak menelantarkan pertanian. Karena bagaimanapun juga, sektor pertanian ini menjadi sumber utama dalam pemenuhan kebutuhan pangan di dunia.

Dan Indonesia, yang menjadikan beras sebagai sumber makanan pokok, yang pernah men swasembada pangan, saya harap semua orang sadar bahwa areal sawah pertanian harus tetap ada, jangan sampai perlahan tapi pasti, tergerus oleh industri. Jika itu terjadi, apa yang mau kita makan. Beras impor sepanjang saat?

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jangan Takut Ke Bromo! #2 - Jalan Kaki Dari Cemoro Lawang

SETELAH turun dari kendaraan "byson" di Cemoro Lawang, udara segar sore hari langsung terasa bersama hembusan angin. Bentangan langit menampakkan biru yang sempurna. Pemilik warung tepat di dekat elf berhenti, langsung menawarkan penginapan. "Penginapan air panas Rp 150 ribu mas," kata seorang pria yang belakangan diketahui namanya pak Santoso. Saya pun mencoba menawarnya setengah mati. Namun, tetap saja dia tidak bergeming dengan harga yang ia tawarkan. Informasi yang saya dapatkan, harga penginapan kelas home star di Cemoro lawang ini sekitar Rp 100 ribu sampai Rp 150 ribu. Mungkin karena saat berkunjung kesana masih dalam suasana libur lebaran, harga penginapan jadi dipatok hingga Rp 150 ribu. Dengan pertimbangan harga yang ditawarkan masih belum menguras isi dompet, akhirnya saya menerima tawaran satu kamar. Tepat di depan Cemara Indah. Di penginapan pak Santoso ini, ia juga memiliki warung makanan yang dikelola oleh anaknya. Gunung Bromo dan Gunung B

Nantikanlah Aku Di Teluk Bayur

MENGAWALI 2015, Januari, saya berkesempatan mengunjungi Kota Padang. Bukan untuk berwisata melainkan menjalankan tugas peliputan Piala Walikota Padang karena tim dari kota tempat saya tinggal, Persib Bandung berlaga di turnamen itu.  Laut yang tentang dan bentangan langit biru di Teluk Bayur Awal Januari

Menyusuri Gua Sinjang Lawang di Pangandaran

TIDAK banyak yang tahu goa Sinjang Lawang di Dusun Parinengan Desa Jadimulya Kecamatan Langkap Lancar Kabupaten Pangandaran. Goa ini memiliki panjang 500 meter dengan dilewati oleh aliran Sungai Cijulang. Goa ini memiliki lebar  65 meter dengan tinggi goa mencapai 60 meter. Mulut Goa