Langsung ke konten utama

Api Biru, Hanya di Kawah Ijen

BINTANG bertaburan di langit malam saat kami tiba di puncak bibir kawah Ijen sekitar pukul 3.30 pertengahan Maret. Jalur pendakian sejauh 4 kilometer, sudah kami lalui. Di bibir kawah dalam kondisi lelah setelah mendaki, kami langsung disuguhi bau blerang yang sangat pekat dan membuat kami semakin kelelahan. 

Dua lapis masker saya pakai untuk menghindari asap belerang dalam perjalanan kami selanjutnya menuju ke dasar kawah sejauh 2 kilometer dari puncak bibir kawah Ijen. Track turun ke dasar kawah sangat curam, belum lagi, jalan yang kami lewati menuju dasar kawah dipenuhi bebatuan besar dan pasir yang licin. Jika tidak hati-hati, bisa saja terpeleset. Guide kami, pak Suroso, berulang kali mengingatkan kami untuk fokus menuruni kawah, jangan sampai terpeleset. Apalagi, pencahayaan hanya mengandalkan senter yang kami bawa.

Turun ke dasar kawah dengan suasana gelap gulita, jalan berpasir serta kiri kanan jalan penuh dengan batu-batu besar memang bahaya. Itu juga kenapa di bibir kawah terdapat papan pengumuman yang berisi larangan pengunjung menuju dasar kawah. Tapi jika tidak turun ke kawah, kita tidak bisa melihat api biru.

Api biru di dasar kawah Ijen

Di perjalanan menuju dasar kawah, sejumlah penambang belerang telah mengangkut belerang dengan berat 70 kilogram - 100 kilogram menuju puncak kawah. Bau asap belerang semakin terasa pekat saat kami mendekati bibir kawah. Dari kejauhan, asap mulai terlihat dan ternyata, blaar...si api biru mulai terlihat dari kejauhan. Terangnya sangat kontras berbaur dengan asap yang membumbung tinggi. 

Dengan jarak sekitar 10 meter, kami melihat api biru. Dari kejauhan, para penambang mengambil belerang yang telah padat dan jaraknya sangat dekat dengan api biru. Saat api biru itu menghasilkan asap dan menuju arah kami, kami langsung menundukkan kepala agar asap itu tidak terisap. Jika terisap, rasanya benar-benar tidak enak. Beberapa kali kami terbatuk-batuk saat asap blerang ini terisap. Rasanya sangat asam ketika asap itu masuk ke paru-paru. Dua lapis masker yang saya pakai pun, tidak cukup kuat. Bahkan, saking seringnya asap belerang itu terisap, isi lubang hidung saya jadi kuning.

Teman saya tengah berjibaku menahan asap belerang di dasar kawah Ijen
Sejumlah turis asing hilir mudik turun ke dasar kawah. Bahkan, tidak jarang, para turis asing ini memanggul belerang dalam keranjang, seperti yang dilakukan para penambang belerang lakukan. Umumnya, para turis asing ini ingin merasakan bagaimana memanggul belerang seberat 70 kilogram kemudian memanggulnya sejauh 4 kilometer dengan jalur menanjak dan menurun. Soalnya, bisa dipastikan, pemandangan itu hanya ada di Ijen.

Saya sendiri belum bisa menjelaskan kenapa bisa ada api biru ini di kawah Ijen. Hanya saja yang pasti, api biru itu hanya ada dua di dunia. Di Iceland dan di Indonesia. Dan satu hal lagi, api biru ini merupakan fenomena alam. Saat malam hari, api biru ini bisa terlihat dengan jelas. Jika siang hari, api ini tidak bisa dilihat.
Penambang tengah menambang belerang yang sudah berbentuk padat
di dasar kawah Ijen
Api biru ini menghasilkan asap yang membumbung tinggi. Kami yang menggunakan masker pun masih kewalahan saat asap belerang ini tercium. Namun, bagi para penambang yang mengambil belerang di lokasi yang sangat dekat dengan api biru, sama sekali tidak mengunakan masker, entah apa yang membuat mereka bisa bertahan dari asap belerang yang baunya sangat pekat itu.

Belerang itu sendiri awalnya berbentuk cair ketika keluar dari perut bumi. Namun, terdapat pipa-pipa yang entah terbuat dari apa, cairan-cairan belerang itu memasuki pipa-pipa itu yang ditaruh miring. Kemudian, cairan belerang itu mengalir ke bawah. Setelah belerang itu keluar dari pipa, belerang yang tadinya cair itu kemudian berubah menjadi padat. Ketika belerang itu jadi padat, para penambang ini langsung mengambilnya dan memasukannya ke keranjang.

Penambang tengah memanggul belerang seberat 70 kg - 100 kg
dari dasar kawah Ijen menuju Paltuding, titik pertama pendakian
"Para penambang belerang ini sudah terbiasa dengan asap belerang yang membuat mata perih itu. Mereka pernah mengecek kondisi kesehatan mereka ke klini terdekat. Dan hasilnya, paru-paru mereka tidak ada masalah berarti." ujar Suroso, pemandu lokal kami saat itu.

Tidak hanya asap belerang yang tiap hari mereka hirup saat menambang, setiap harinya, belerang-belerang yang mereka tambang dibawa ke Paltuding, pos pertama pendakian kawah Ijen. Jarak dari dasar kawah ke Paltuding sangat jauh, sekitar 5 kilometer dengan jalur yang menanjak. 

"Dengan jalan yang menanjak, mereka membawa belerang-belerang itu ke Paltuding untuk kemudian dijual seharga RP 800 per kilogramnya. Enggak sebanding, bayangkan saja, mereka menambang belerang dengan melawan asap belerang. Setelah itu, belerang seberat 70 - 100 kg itu mereka bawa dengan jarak yang sangat jauh," katanya.

Penambang tengah memanggul belerang seberat 70 kg - 100 kg
dari dasar kawah Ijen menuju Paltuding, titik pertama pendakian
Jumlah penambang belerang ini, kata Suroso, kira-kira sekitar 300 orang. Meski mereka harus berjibaku dengan asap belerang yang pekat. Namun, aktifitas mengangkut belerang dengan jalan kaki itu membuat kesehatan mereka tetap terjaga. Tidak hanya itu, para penambang belerang ini kebanyakan para perokok berat. Namun lagi-lagi, mereka masih tetap kuat mengangkut belerang.

"Dalam sehari, rata-rata mereka mengambil belerang dua kali balikan dengan berat total sekitar 140 kilo hingga 200 kilo. Dari belerang yang mereka jual, mereka bisa mendapatkan upah total seharga Rp 100 ribu. Di luar itu, mereka bermata pencaharian sebagai petani," katanya.

Kawah Ijen ini memang obyek wisata alam paling fenomenal di Indonesia dan hanya satu-satunya. Belerang-belerang yang ditambang mereka, umumnya digunakan untuk bahan baku kosmetik. Ternyata, perusahaan yang menampung tambang-tambang itu kata Mas Suroso dimiliki oleh warga keturunan China yang tinggal di Surabaya.

Oh ya, pendakian kami ke kawah Ijen dini hari buta ini tanpa dibarengi dengan tidur semenit pun. Di Paltuding, kami tiba pukul 00.00. Bagi pengunjung lain yang datang malam hari ke Paltuding saat itu, mungkin saja dengan bekal istirahat tidur yang cukup dengan menginap di penginapan sekitar Paltuding. Kami sempat berusaha tidur barang sejam di sebuah warung disana. Namun, hingga pukul 01.15, kami tak semenitpun bisa tidur. Apalagi di tengah cuaca yang dingin.

Kawah Ijen dari dasar kawah
Tiba di Paltuding tengah malam, kami membayar tiket Rp 10 ribu untuk tiga orang dan mendaftarkan diri ke petugas jaga. Satu persatu, pengunjung lain berdatangan di tengah malam itu. Rupanya, mereka juga ingin melihat api biru ditemani para guide lokal. Mas Suroso adalah satu diantara sekian guide yang kami temui saat itu. Tarif untuk mas Suroso ini RP 100 ribu. 

Setelah pendakian dan berada di dasar kawah, kami akhirnya kembali ke Paltuding. Mata yang belum terpejam sedetik pun, terasa perih. Tubuh kami lunglai. Saya sempat rebahan di bibir kawah Ijen untuk beristirahat. Pukul 08.30 kami tiba kembali di Paltuding.Kami sempat mandi agar tubuh terasa segar meski belum tidur. 

Kemudian, lagi, tanpa istirahat, kami melanjutkan perjalanan ke pelabuhan Ketapang dari Paltuding menggunakan sepeda motor bersama Mas Suroso dan dua orang temannya.

Sedari awal, saya merencanakan pergi dari Bandung menggunakan pesawat Air Asia pukul 08.15. Namun, keberangkatan kami di bandara Husein Sastranegara saat itu mengalami keterlambatan. Kami baru bisa terbang ke Surabaya pukul 10.30.

Muka-muka kami yang belum tidur 24 jam. Daki gunung, turun gunung, nyebrang pulau.
Sekitar jam 13.30-an kami baru tiba di Terminal Bungurasih, Surabaya. Jelas itu bukan waktu yang ideal untuk berangkat ke Ijen. Di terminal itu, kami sudah kesulitan mencari bus jurusan Surabaya-Bondowoso. Ternyata, agak sore bus jurusan itu sedikit yang beroperasi kata sejumlah orang yang saya tanyai.

Otomatis, akhirnya kami menggunakan bus jurusan Surabaya-Situbondo. Dari Situbondo, kami harus berganti bus/angkutan jurusan Bondowoso. Waktu tempuh dari Surabaya pukul 14.00 menuju Bondowoso menggunakan bus Akas kami tempuh dengan 5 jam. Kami tiba di Situbondo pukul 19.00 dan melanjutkan perjalanan satu jam ke Bondowoso dengan menggunakan bus lainnya. 

Di terminal Bondowoso, pukul 20.00 suasana sudah sepi. Tidak ada angkutan umum, bus ataupun elf yang akan mengantarkan kami ke Sempol. Yang pasti, saat itu, kami sudah tidak bisa ke Sempol karena elf menuju Sempol dari Bondowoso, sudah tidak ada.

Sempat merasa khawatir memang. Jika tidak ada elf, otomatis kami harus bermalam dulu di Bondowoso kemudian keesokan pagi, kami bisa meneruskan perjalanan. Tapi itu bukan pilihan tepat. Tujuan kami ke Ijen, melihat dengan mata kepala sendiri api biru dan ratusan penambang blerang mengangkut blerang puluhan kilo dengan jarak 4-5 kilometer. Dan untuk melihat api biru, itu harus malam hari.

Setibanya di Terminal Bondowoso jam 20.30,  kami beristirahat dulu di sebuah warung sate tepat di depan terminal. Seraya makan malam, kami berdiskusi gimana cara menuju Paltuding sementara elf sudah tidak ada di terminal.Rupanya, percakapan kami didengar oleh pemilik warung, pak Syafieq. Ia pun menawarkan jasa mengantar kami ke Paltuding malam hari. Biayanya cukup mahal tapi sangat realistis di tengah tidak adanya angkutan ke Paltuding.

Seperti yang saya tulis, keberangkatan saya ke Ijen itu ya mengejar api biru dan itu harus malam. Kalau siang hari, apa bedanya ketika saya berkunjung ke Kawah Tangkuban Perahu atau kawah putih. Akhirnya kami bertiga menyepakati harga jasa mengantar ke Paltuding sebesar Rp 600 ribu. Mahal memang, tapi mau bagaimana lagi. Jika kami berangkat keesokan paginya kemudian malam harinya baru naik ke kawah,  biaya dan tenaga lebih besar lagi. 

Trip ke Ijen bagi pemula seperti kami memang membutuhkan biaya besar. Tapi, seandainya keberangkatan pesawat kami tepat waktu, kami tidak akan mengeluarkan biaya besar ke Ijen. 

Pengalaman bisa mencapai bibir kawah kemudian turun ke dasar kawah, merupakan pengalaman yang tak ternilai harganya.  Indonesia memang amazing. Sayang jika kita tidak mengenalinya. Semakin banyak kamu mengenali banyak tempat di Indonesia, semakin besar juga kamu akan mencintai tanah air ini. :)

It's me, langitmegabiru

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jangan Takut Ke Bromo! #2 - Jalan Kaki Dari Cemoro Lawang

SETELAH turun dari kendaraan "byson" di Cemoro Lawang, udara segar sore hari langsung terasa bersama hembusan angin. Bentangan langit menampakkan biru yang sempurna. Pemilik warung tepat di dekat elf berhenti, langsung menawarkan penginapan. "Penginapan air panas Rp 150 ribu mas," kata seorang pria yang belakangan diketahui namanya pak Santoso. Saya pun mencoba menawarnya setengah mati. Namun, tetap saja dia tidak bergeming dengan harga yang ia tawarkan. Informasi yang saya dapatkan, harga penginapan kelas home star di Cemoro lawang ini sekitar Rp 100 ribu sampai Rp 150 ribu. Mungkin karena saat berkunjung kesana masih dalam suasana libur lebaran, harga penginapan jadi dipatok hingga Rp 150 ribu. Dengan pertimbangan harga yang ditawarkan masih belum menguras isi dompet, akhirnya saya menerima tawaran satu kamar. Tepat di depan Cemara Indah. Di penginapan pak Santoso ini, ia juga memiliki warung makanan yang dikelola oleh anaknya. Gunung Bromo dan Gunung B

Nantikanlah Aku Di Teluk Bayur

MENGAWALI 2015, Januari, saya berkesempatan mengunjungi Kota Padang. Bukan untuk berwisata melainkan menjalankan tugas peliputan Piala Walikota Padang karena tim dari kota tempat saya tinggal, Persib Bandung berlaga di turnamen itu.  Laut yang tentang dan bentangan langit biru di Teluk Bayur Awal Januari

Menyusuri Gua Sinjang Lawang di Pangandaran

TIDAK banyak yang tahu goa Sinjang Lawang di Dusun Parinengan Desa Jadimulya Kecamatan Langkap Lancar Kabupaten Pangandaran. Goa ini memiliki panjang 500 meter dengan dilewati oleh aliran Sungai Cijulang. Goa ini memiliki lebar  65 meter dengan tinggi goa mencapai 60 meter. Mulut Goa