PASKAreformasi, bahasan tentang Hak Azasi Manusia (HAM) menjadi sangat populer dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Semangat reformasi dan cerita-cerita heroik para mahasiswa pada reformasi 1998 yang berujung dengan aksi kekerasan aparat negara, menambah seksi bahasan HAM.
Bersamaan dengan itu, terungkapnya aksi-aksi operasi militer Indonesia di sejumlah tempat di Indonesia yang melahirkan cerita kekerasan aparat, semakin menambah seksi bahasan HAM. Bahkan hingga sekarang.
Konteks HAM dalam sistem hukum Indonesia memang menempatkan peran negara sebagai pelaku. Kita bisa melihat hal itu dalam Undang-undang No 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM. Itu kenapa, dalam ajang Pemilu di Indonesia, bahasan HAM ini selalu dijadikan alat politik intrik untuk menjatuhkan pihak-pihak tertentu yang diduga terlibat dalam pelanggaran HAM.
Sebelum hari pencoblosan Pemilu tahun 2014 ini, time line media sosial saya banyak dipenuhi oleh artikel-artikel yang membahas tentang pelanggaran HAM di Indonesia. Sebenarnya saya merasa muak dengan timeline-time line soal HAM yang mereka bahas saat itu. Sudah pasti, artikel itu mengarah kepada Prabowo Subianto, mantan Danjen Kopasus yang kini memimpin Partai Gerindra serta Wiranto, mantan Panglima ABRI, kini memimpin Partai Hanura. Keduanya kerap disebut-sebut terlibat dalam pelanggaran HAM berat pada operasi militer di sejumlah tempat di Indonesia.
Peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM di Indonesia hanya menyisakan cerita-cerita pilu tentang keluarga korban. Ironisnya, cerita-cerita itu tidak diakhiri dengan keputusan hukum yang sah dari lembaga peradilan, sehingga cerita-cerita kelam pelanggaran HAM itu terbuka dengan terang dan korban, masih dirundung pertanyaan besar tentang kebenaran sejarah.
Dugaan pelanggaran HAM berat di Timor-timur sempat menyeret sejumlah perwira TNI ke Pengadilan HAM. Hanya saja, tidak banyak yang divonis bersalah dalam pengadilan itu. Yang ada, militer sipil Eurico Gueteres yang justru divonis bersalah melakukan pelanggaran HAM berat pada saat operasi militer Indonesia di Timor-Timur.
Dugaan pelanggaran HAM berat di Indonesia yang didugua melibatkan militer Indonesia cukup banyak. Mulai dari operasi militer di Aceh, Lampung, Tanjung Priok, Timor-Timur hingga Papua. Namun, penyelesaian semuanya belum ada. UU Pengadilan HAM awalnya mengakomodir penyelesaian pelanggaran HAM sebelum dilahirkannya UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Atau pelanggaran HAM yang terjadi sebelumm tahun 2000 melalui jalur pengadilan HAM.
UU Pengadilan HAM juga mengakomodir penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu atau sebelum tahun 2000 melalui cara rekonsiliasi lewat Undang-undang Nomor 27 tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Namun, kedua cara penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu itu kandas karena putusan Mahkamah Konstitusi.
Kedua cara itu, diyakini menjadi cara ampuh untuk menuntaskan pelanggaran HAM di masa lalu. Melalui rekonsiliasi misalnya. Cara ini dinilai paling efektif, dengan menekankan pada permohonan maaf dari pelaku kepada keluarga korban yang disertai dengan pemberian hak-hak tertentu kepada korban dari pelaku.
Sementara itu, hambatan menuntaskan pelanggaran HAM berat sebelum tahun 2000 itu karena memang ada kesulitan menyelidiki siapa pelaku, terlebih lagi, jika pelakunya sudah meninggal atau sudah jompo. Kecuali untuk pelaku-pelaku yang masih hidup. Tapi itupun sangat sulit karena untuk menyeret pelanggar HAM berat oleh penyidik ke pengadilan HAM itu, perlu dukungan DPR. Dan jika minta dukungan DPR, bahasan itu akan menjadi politis karena dibawa ke ranah politis.
Jadi, dengan tidak berlakunya dua solusi penuntasan pelanggaran HAM berat di masa lalu itu, hingga sekarang, penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu itu belum jelas akan seperti apa. Para korban yang pasti hanya menyimpan luka dan api dendam sejarah yang setiap saat bisa dibakar.
Lantas, di tengah buntunya penyelesaian pelanggaran HAM itu, di era Pemilu, HAM dijadikan komoditas politik untuk menjatuhkan elektabilitas seseorang yang terkait dalam Pemilu. Sebut saja Prabowo dan Subianto. Saya tidak hendak membela kedua mantan jenderal tersebut.
Hanya saja, di tengah kebuntuan penuntasan pelanggaran HAM di masa lalu, lebih bijak jika tidak menggunakan bahasan HAM sebagai alat politik untuk menjatuhkan siapapun. Apalagi, bahasan HAM yang dijadikan sebagai alat politik itu, sama sekali tidak mewacanakan penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Bahasan-bahasan mengenai dugaan pelanggaran HAM berat di masa lalu, umumnya hanya menjelaskan soal kengerian, kisah pilu para keluarga korban yang mengalaminya. Namun, sama sekali tidak menawarkan cara dan solusi harus seperti apa menuntaskan kasus HAM yang tengah mengalami kebuntuan ini.
Menjelang Pemilihan Calon Presiden dan Wakil Presiden Juni nanti, jika Prabowo dan Wiranto jadi nominasi Capres atau Cawapres, saya yakin bahasan dan cerita-cerita pilu itu akan kembali menghiasi timeline situs media sosial.
Lantas, apa itu memberikan pembelajaran politik yang positif bagi publik? saya rasa tidak. Itu hanya membangkitkan api-api amarah dari para keluarga korban pelanggaran HAM berat di masa lalu. Apa itu bahaya? jelas bahaya. Kenapa? karena mereka akan jadi martil yang akan menuntut dendam sejarah dan keberagaman kita sebagai bangsa pun, akan ternoda.
Kalaupun bahasan pelanggarahan HAM berat di masa lalu ini menjadi konsumsi politik jelang Pilpres, akan lebih bijak jika bahasannya mengedepankan bagaimana solusi pemerintahan hasil Pilpres 2014 ini, menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu yang kini mengalami kebuntuan.
Bukannya membahas dan mengumbar cerita-cerita getir tentang pembantaian anak bangsa di masa lalu yang tidak menyelesaikan masalah, justru sebaliknya, hanya melahirkan amarah.
TOGEL KLIK4D bersama B O L A V I T A
BalasHapusMemiliki Pasaran Paling Terkenal >> Singapore - Kuala Lumpur - Hongkong << Dengan Diskon Terbesar Dan Minimal Deposit Hanya 50rb dengan Support Semua Bank Indonesia
Segera Bergabung Bersama kami Sekarang Juga !
BBM : BOLAVITA
WA : 081377055002