DARI Kota Bandung, ratusan kilometer dari Cemoro Lawang, kampung terdekat dengan Taman Nasional Gunung Bromo Tengger Semeru, jauh-jauh hari saya sangat tertantang menjelajahi setiap sudut Bromo, menggunakan roda dua.
Apalagi, sebelum ke Bromo, ketika melihat sunrise di puncak Pananjakan dengan waktu tempuh saat dini hari sebelum adzan Shubuh berkumandang, suhu udara bisa mencapai 4 derajat celcius, sangat memacu adrenaline untuk bisa merasakannya.
Selain itu, menggunakan motor, komunikasi intens dengan pengendara roda dua yang mengantarkan kita ke sejumlah lokasi, bisa terjalin dengan baik. Sehingga, dengan fokus, kita bisa tahu lebih dalam tentang Bromo, terlebih lagi, kehidupan sehari-hari masyarakat suku Tengger.
Selain itu, menggunakan motor, komunikasi intens dengan pengendara roda dua yang mengantarkan kita ke sejumlah lokasi, bisa terjalin dengan baik. Sehingga, dengan fokus, kita bisa tahu lebih dalam tentang Bromo, terlebih lagi, kehidupan sehari-hari masyarakat suku Tengger.
Menggunakan roda dua menuju puncak Pananjakan untuk melihat sunrise di Bromo, secara otomatis saya harus merasakan dingin setengah mati. Bagaimana tidak, suhu 4 derajat celcius, baru saya rasakan saat saya berkunjung kesana. Di Bandung, seperti halnya di Lembang, Pangalengan atau Ciwidey, suhu terendah paling hanya mencapai 9-10 derajat celcius.
Saat saya tiba di Bromo, saya memang ditawari sharing penyewaan jeep. Dengan jeep, otomatis pula suhu dingin tidak akan begitu terasa karena kita berada dalam mobil. Menggunakan jeep, memang cukup murah karena bisa sharing biaya. Sehingga, bagi yang akan mengunjungi Bromo, tidak usah khawatir untuk menyewa jeep.
Setelah mencarter pengendara roda dua sebesar Rp 200 ribu untuk menjelajahi Bromo, seperti Kawah Bromo, puncak Pananjakan, pasir berbisik, bukit savana dan Ranu Pani atau titik pertama pendakian ke Gunung Semeru, pagi sekitar pukul 04.00 dini hari, pintu kamar saya diketuk.
Rupanya, Mas Suyono, pengendara roda dua yang akan mengantarkan saya ke beberapa lokasi tujuan tersebut, sudah siap berangkat.
Saya lihat pengukur suhu udara di smartphone saya. Wow, suhu di Cemoro Lawang saat dini hari mencapai 5 derajat celcius. Kereen...! Saya pun bergeas ke kamar mandi, gosok gigi dan cuci muka. Lalu saya kenakan syal, topi kepala, sarung tangan dan dua lapis jaket kuli.
Keluar dari penginapan, pengunjung lain sudah siap menaiki kendaraan jeep yang telah mereka sewa dengan rata-rata harga Rp 400 ribu sampai Rp 6oo ribu yang bisa dibayar patungan.
Mas Suyono, sepertinya sudah bersahabat dengan cuaca dingin di Cemoro Lawang ketika hendak menuju puncak Pananjakan. Hanya berbekal rokok, sendal jepit, jaket kulit, sarung khas suku tengger dan topi kepala, Suyono sudah siap mengarungi dinginnya suhu Bromo.
Motor melaju pelan menurun tebing untuk kemudian berjalan di gurun pasir Bromo yang dipenuhi kabut. Beruntung, karena gurun pasir terbasahi embun, tanah pasir yang dilalui kendaraan masih padat. Berbeda pada saat siang hari, ketika pasir sudah kering, akan cukup sulit untuk melewatinya menggunakan motor.
Ketika melewati gurun pasir yang dikelilingi kabut, dingin yang saya rasakan begitu menusuk tulang. Benar-benar dingin. Dalam hati, saya berkata, milih masuk neraka yang panas atau neraka yang dingin hingga minus nol derajat. heheheeh...
Ah, saya berusaha melupakan rasa dingin yang menusuk tulang itu. Bagaimanapun juga, mau tidak mau, saya menikmati perjalanan di motor dengan suhu udara mencapai 5 derajat celcius ini. Setelah melewati gurun pasir, motor melewati jalan aspal menanjak menuju puncak Pananjakan.
Inilah seninya menjelajah Bromo menggunakan motor saat pagi buta hingga menjelang siang. Rasanya, tidak lengkap jika menjelajah Bromo tidak menggunakan motor. Dan yang saya rasakan, menggunakan roda dua menjelajah Bromo memang sangat terasa petualangannya.
Dibutuhkan waktu sekitar 1 jam menuju puncak Pananjakan dari Cemoro Lawang. Puncak Pananjakan sendiri, tempat terbaik untuk bisa menikmati sunrise di Bromo. Belum lagi, di atas ketinggian melebihi ketinggian Gunung Bromo, pengunjung bisa melihat dengan mata telanjang betapa awan dan kabut tipis berada di bawah Gunung Bromo, Gunung Batok maupun Pegunungan Tengger yang mengelilinginya.
Sebelum tiba puncak Pananjakan, ratusan pengunjung sudabh berjejal menunggu sang surya terbit. Setelah menunggu 30 menit, tepatnya pukul 05.00 dini hari, semburat sinar matahari melukis langin dengan sinar warna keemasannya.
Tidak hanya itu, Gunung Batok, Bromo dan gunung di sekitarnya dikelilingi oleh awan tipis dan berada di bawah Cemoro Lawang. Benar-benar pemandangan mengagumkan, mata benar-benar dimanjakan oleh maha karya ciptaan Tuhan.
Puluhan wisatawan domestik maupun asing, benar-benar terkonsentrasi mengabadikan momen tersebut dengan kameranya. Termasuk juga dengan saya yang tidak pernah bosan mengabadikan momen itu.
Pemandangan luar biasa itu semakin indah kala di belakang gunung Bromo dan Batok, gunung tertinggi di pulau Jawa, Gunung Semur, tampak terlihat hanya puncaknya saja. Lawang, yang hanya terpisah oleh tebing.
Tidak ada kata-kata lagi yang bisa saya lukiskan mengenai keindahan Bromo dan sekitarnya saat di pagi hari tersebut. Hanya saja, tidak serta merta Tuhan membuat semua keindahan yang ada di dunia, tidak lain adalah untuk membuat umatnya senantiasa selalu beriman dan selalu mensyukuri akan setiap nikmat keindahann yang diciptakanNya.
Amazing Bromo, Amazing Indonesia!
Komentar
Posting Komentar