SABTU dini hari, pekan terakhir di Agustus 2013. Mata masih terjaga, teh poci panas tawar menemani. Saya membaca beberapa tulisan yang pernah saya posting di luar blog ini. Mencari tulisan-tulisan yang sekiranya cukup mellow.
Dan akhirnya, saya menemukan tulisan saat saya sedang galau setengah mati karena harus berpisah dengan perempuan. Saya masih ingat saat itu, saya bisa realistis ketika menerima sebuah perpisahan.
Namun, saat itu, saya sulit sekali untuk realistis mana kala, saya berpisah tidak hanya dengan pacar, tapi juga berpisah dengan teman. Karena bagaimanapun juga, pacar saya waktu itu, teman diskusi saya paling baik. Diskusi filsafat, ekonomi, politik hingga soal hidup dan dunia yang ada di kepala kami masing-masing.
Ketika kami memutuskan berpisah, saya merasa kehilangan tidak hanya sebatas dengan pacar, tapi juga dengan teman. Memang terkesan naif, karena bagaimanapun juga, ketika seseorang berpisah dengan orang yang dicintai, tentu yang terasa ingin kembali bersama. Dan saat itu, saya sempat berpikir ketika berpisah, paling tidak, kami masih bisa kembali bersama sebagai teman diskusi.
Saya sendiri pernah memberikan tulisan ini kepadanya melalui email. Namun, saat itu, ia tidak bisa menerima permintaan saya yang ingin kembali berteman biasa. Dengan alasan, relasi asmara itu terbentuk karena komunikasi yang intens, dan jika kami kembali berteman, dia tidak berani relasi asmara yang telah berakhir itu kembali terulang.
It's like a tragic thing...blluuaahhh!
Sabtu 29 Januari 2012 to Matahari :
Kita pernah berkeyakinan bahwa keyakinan Kita tentang kita, sangat kuat dan tak akan pernah rubuh meski diterpa badai. Saat itu terjadi, kita pernah bertahan selama mungkin, meski sebagian tubuh kita terluka, semuanya terasa membanggakan karena kita pernah berkorban agar keyakinan ini tetap lestari.
Namun, bangunan keyakinan itu kini luluh lantah, tak bersisa sama sekali.
Kemarin, saya bermain di puing reruntuhan itu. Kali ini, saya bisa tersenyum saat mengunjunginya. Kembali perasaan bangga menyelimuti. Di tempat itu, saya sempat mengukir cerita manis, saya sempat menjadi seorang pahlawan baginya, sempat menjadi pria menyebalkan baginya. Di tempat itu pula, saya sempat berkata, “I want to be the last man standing beside you…”
Setelah bergumul dengan ingatan yang kali itu membuat saya tersenyum, tak sengaja saya menemukan fondasi bangunan yang masih utuh dan tidak rusak sama sekali. Ketika dilihat, fondasi itu ternyata fondasi pertama yang kita bangun dulu, saat mulai membangun keyakinan kita tentang kita.
Fondasi yang saya temukan itu sebuah kenyataan bahwa
“Kita awalnya adalah teman. Dan akan selalu menjadi teman”
Komentar
Posting Komentar