SUHU udara di Desa Pangarengan Kecamatan Legon Kulon Kabupaten Subang menuju siang menunjukkan angka 32 derajat celcius. Dengan infrastruktur jalan desa yang rusak berat ; berlubang, bergelombang serta tekstur jalan tanah merah dan kerikil, membuat kendaraan roda empat yang kami naiki, terkadang tergelincir karena licin.
Beruntung, sejumlah kendaraan roda empat yang hendak menuju Dusun Cirewang, sebuah tempat terpencil di ujung utara Subang ini tidak amblas karena jalan yang berlumpur, di tengah hutan mangrove dan area rawa yang sepi.
Butuh waktu sekitar 2 jam dari Pamanukan menuju dusun terpencil yang lokasinya berada di tengah-tengah puluhan ribu hektar hutan mangrove ini, atau butuh 5 jam perjalanan dari pusat Subang kota. Melintasi deretan rumah-rumah tidak layak huni di tengah rumah mewah di kiri kanan jalan serta sanitasi yang buruk, membuat kami menghela nafas panjang ketika melihatnya.
Dusun yang hanya dihuni oleh 32 kepala keluarga ini, umumnya bermata pencaharian sebagai nelayan. Soalnya, dusun ini berada di tepi daratan di Tanjung Cirewang perairan laut Jawa. Semenjak listrik mulai menerangi dusun ini sekitar 2-3 tahun yang lalu, dinamika dusun ini mulai bergeliat.
Sebagian besar rumah-rumah di dusun ini berdindingkan bilik serta beralaskan tanah. Namun, hadirnya listrik di kampung ini, sangat membantu warga untuk beraktivitas. Saya pun menyapa Warsa Ismaya, pria tua di kampung ini, yang mengaku masih terhibur dengan adanya TV dan radio meski kampungnya terpencil.
Semenjak adanya listrik di dusun ini, selain berkehidupan di laut untuk mencari ikan kemudian dijual, meski terpencil, kampung ini juga memiliki dua tempat karaoke milik warga. Saya yang saat itu baru tiba di kampung ini, sempat berkeliling. Dan tanpa sadar, saya melintasi salah satu tempat karaoke tersebut. Dentuman suara musik dangdut menyeringai saat itu.
Belakangan, saya tahu tempat itu menjadi penampungan perempuan-perempuan penjaja cinta sesaat yang datang dari beberapa daerah di kawasan pantura. Setiap siang atau malam, tempat-tempat itu selalu ramai dengan dentumin musik dangdut khas pantura.
Rasa-rasanya, kampung terpencil menyediakan perempuan penjual cinta sesaat, agak tidak mungkin. Dan memang ternyata, para penjual cinta itu rupanya tidak berasal dari kampung ini. Melainkan, sengaja datang dari daerah luar kampung.
Agenda jalan-jalan saya di saat hari libur setelah menetap sementara di Subang selama 5 bulan ini ke kampung tersebut, menyimpan cerita pilu mengenai siswa-siswa yang terpaksa berjibaku melewati jalanan yang rusak dan berlumpur menuju sekolahnya di kampung Pangarengan, dengan jarak 3 kilometer melintasi hutan mangrove.Selain itu, selama puluhan tahun, mereka menempati rumah-rumah bilik beralaskan tanah.
Berjalan di jalan berlumpur merah saat habis hujan dengan kiri kanan hutan mangrove, membuat saya bergidik nyingir. Saya membayangkan, air dari rawa-rawa yang melimpas ke jalan kemudian dilewati oleh kaki-kaki mungil yang hendak menuntut ilmu, setikdanya itu jadi cerita yang lagi-lagi bagi saya, cukup menghela nafas panjang.
Jika bagi siswa SD harus berjalan kaki sejauh tiga kilometer untuk menempuh sekolah, lain lagi dengan siswa SMP maupun SMA. Mereka umumnya harus bersekolah di sekitar Legon Kulon atau Kecamatan Pamanukan yang jaraknya mencapai 5-6 kilo dari dusun mereka.
Untuk pergi melaut pun, para nelayan disini harus melewati aliran Sungai Cirewang yang diapit oleh hutang mangrove di kiri dan kanan sungai yang rapat sejauh 1 kilometer. Setibanya di ujung sungai, tibalah di Tanjung Cirewang yang masih termasuk perairan laut jawa. Di Tanjung Cirewang ini, terdapat dataran yang menjorok ke laut sepanjang 600 meter dengan lebar 6-10 meter.
Di Tanjung Cirewang ini, belakangan saya tahu bahwa Pemkab Subang telah meresmikan daerah tersebut sebagai tempat wisata alternatif di kawasan Pantura Subang. Dengan ombak yang tidak terlalu deras serta kawasan pantai yang tidak terlalu dalam, kata Saputra, pengunjung bisa berenang disini.
Dan ternyata, tempat yang dijadikan tempat wisata itu, berasal dari tanah timbul atau daratan yang muncul begitu saja karena sudah parahnya sedimentasi lumpur yang dibawa oleh sungai, sehingga membuat dangkal dan akhirnya menjadi daratan.
Saat itu, hari sudah sore. Ketika hendak kembali ke tempat tinggal, saya baru sadar, di kampung tersebut tidak terdapat satupun fasilitas kesehatan. Di tengah sanitasi yang buruk serta kebutuhan ekonomi yang rendah, saya hanya berharap pemegang kuasa di republik ini bisa memperhatikan mereka, yang masih menggalang asa di tengah segala keterbatasn.
terimakasih infonya, jangan lupa kunjungi website kami http://bit.ly/2RpidHn
BalasHapus